Tuesday, February 7, 2017

Antara Realita, Harapan, dan Kewajiban

Lagi, aku termenung dan larut dalam lamunanku. Aku tak mau meratapi hidup. Aku tak mau berkeluh kesah. Aku tak mau menyerah seolah meng-Aamiin-kan mereka yang melihatku seperti pecundang. Aku tahan segala rasa dalam hatiku. Aku ingin menjerit, tapi aku tak mampu. Aku ingin marah, tapi harus pada siapa kulampiaskan amarahku? Apa aku harus marah pada orang tuaku? Apa aku harus marah pada adikku? Atau aku harus marah pada mereka yang selalu bertanya tentang hal yang aku tak sukai? Atau aku harus marah pada mereka yang berkomentar ini itu tanpa tahu hidupku? Aku tak bisa melakukannya. Aku hanya bisa marah dalam diam. Dalam simpul senyum palsu. Dalam gelak tawa tanpa beban. Bukan, bukan senyum dan tawa kebahagiaan. Tapi senyum dan tawa yang berusaha tegar dan berharap kebaikan akan datang di waktu yang tepat. Karena aku tahu, jika aku luapkan amarahku, pada akhirnya aku hanya menyakiti diriku sendiri. Aku akan merasakan sakit karena amarahku, kata-kata yang terucap dari lisanku hanya akan melukai hati mereka. Ah, aku lelah. Hati ini terasa tertekan. Aku sesak. Bagaimana rasanya menghirup nafas lega? Bagaimana rasanya tersenyum karena bahagia? Bagaimana rasanya menatap tegak? Bagaimana rasanya melangkah mantap? Aku seolah berjalan terhuyung tanpa arah, menunduk malu atas hidupku yang aku tidak tahu apa alasan pastinya. Banyak ‘mengapa’ yang muncul di benakku. Tapi aku tak mau melanjutkannya karena aku takut mempertanyakan takdir Tuhan yang telah digariskan untukku dan akirnya membuatku berprasangka buruk.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada hidupku. Semuanya secara tiba-tiba saja menjadi seperti ini. Aku tahu benar banyak yang salah dari imanku. Banyak yang salah dari iman keluargaku. Mungkin kami sudah terlalu lama meninggalkan-Nya. Mungkin kami sudah melangkah menjauhi jalur menuju Dia. Aku ingin kembali, tapi aku tidak mengerti mengapa tubuh ini seperti terpasung. Telah terpasung dalam waktu yang lama. Sekian bulan, tidak. Sekian tahun, ya. Aku terhenti di titik dimana aku tidak bisa kembali atau memulai kebaikan yang baru. Aku seolah dipaksa untuk terus melanjutkan jalur di hadapanku, namun bertentangan dengan nuraniku. Semua riuh kala aku memilih jalan baru ataupun memilih kembali. Semua riuh kala aku hanya berhenti tak bergerak. Mengapa keriuhan ini seolah mengendalikanku? Bukankah aku yang bertanggungjawab terhadap hidupku dan langkahku? Aku terbentur dengan harapan dan keinginan orang tuaku, aku terbentur dengan kekecewaan dan kenyataan adik-adikku, aku terbentur dengan kondisi keluargaku, aku terbentur dengan tuntutan materi terhadap hidupku dan keluargaku, aku terbentur dengan tanggung jawabku kepada Tuhanku, aku terbentur dengan harapan-harapanku. Semua seolah bertentangan, saling berbenturan, jauh dari mendukung dan menguatkan.

Aku seolah melihat kehancuran. Tuhan, rasanya aku ingin mati saja. Melihat dunia yang semakin tidak aku mengerti. Melihat dunia merubah manusia di sekitarku juga manusia yang jauh dari pandangku. Aku takut, jika aku termasuk dari perubahan buruk dunia ini. Aku takut hidup lebih lama hanya akan membuatku menjadi manusia yang semakin buruk dan menjauhi-Mu. Tapi aku pun belum siap mati saat ini. Aku merasa sungguh hina dan jika aku berakhir sekarang, ini hanya akan menjadi akhir hidup yang buruk. Tuhan, berikan aku kesempatan untuk bisa berakhir dengan baik dan benar. Tuhan, beri aku kesempatan untuk bisa melakukan dan menunaikan apa yang saat ini memang harus aku lakukan dan tunaikan. Izinkan aku melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk orang tuaku dan adik-adikku, untuk sahabat dan saudaraku, untuk bukti dan saksi atas imanku, untuk pemberat timbangan amalku di Yaumul Mizan, untuk kelayakanku mendapat syafa’at kelak, dan untuk segala apa yang harus aku pertangungjawabkan dunia dan akhiratku. Tuhan, bukakanlah jalanku. Terangilah jalanku. Bebaskan aku dari rasa terpasung ini. Tuntunlah aku dalam jalanku melaluinya. Karena aku tak tahu mana lagi tempat bergantung dan berharap selain pada-Mu. Maafkan aku, karena aku baru menemui-Mu disaat aku terpuruk dan hancur.

Bandung, 7 Februari 2017
Pukul 10:46 AM GMT+7 Jakarta
Syi'ra Syams

0 komentar:

Post a Comment