Lagi, aku termenung dan larut dalam lamunanku. Aku tak mau meratapi hidup. Aku
tak mau berkeluh kesah. Aku tak mau menyerah seolah meng-Aamiin-kan mereka yang
melihatku seperti pecundang. Aku tahan segala rasa dalam hatiku. Aku ingin
menjerit, tapi aku tak mampu. Aku ingin marah, tapi harus pada siapa kulampiaskan
amarahku? Apa aku harus marah pada orang tuaku? Apa aku harus marah pada
adikku? Atau aku harus marah pada mereka yang selalu bertanya tentang hal yang
aku tak sukai? Atau aku harus marah pada mereka yang berkomentar ini itu tanpa
tahu hidupku? Aku tak bisa melakukannya. Aku hanya bisa marah dalam diam. Dalam
simpul senyum palsu. Dalam gelak tawa tanpa beban. Bukan, bukan senyum dan tawa
kebahagiaan. Tapi senyum dan tawa yang berusaha tegar dan berharap kebaikan
akan datang di waktu yang tepat. Karena aku tahu, jika aku luapkan amarahku, pada
akhirnya aku hanya menyakiti diriku sendiri. Aku akan merasakan sakit karena
amarahku, kata-kata yang terucap dari lisanku hanya akan melukai hati mereka. Ah,
aku lelah. Hati ini terasa tertekan. Aku sesak. Bagaimana rasanya menghirup
nafas lega? Bagaimana rasanya tersenyum karena bahagia? Bagaimana rasanya
menatap tegak? Bagaimana rasanya melangkah mantap? Aku seolah berjalan
terhuyung tanpa arah, menunduk malu atas hidupku yang aku tidak tahu apa alasan
pastinya. Banyak ‘mengapa’ yang muncul di benakku. Tapi aku tak mau
melanjutkannya karena aku takut mempertanyakan takdir Tuhan yang telah
digariskan untukku dan akirnya membuatku berprasangka buruk.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada hidupku. Semuanya secara tiba-tiba
saja menjadi seperti ini. Aku tahu benar banyak yang salah dari imanku. Banyak
yang salah dari iman keluargaku. Mungkin kami sudah terlalu lama meninggalkan-Nya.
Mungkin kami sudah melangkah menjauhi jalur menuju Dia. Aku ingin kembali, tapi
aku tidak mengerti mengapa tubuh ini seperti terpasung. Telah terpasung dalam
waktu yang lama. Sekian bulan, tidak. Sekian tahun, ya. Aku terhenti di titik
dimana aku tidak bisa kembali atau memulai kebaikan yang baru. Aku seolah
dipaksa untuk terus melanjutkan jalur di hadapanku, namun bertentangan dengan nuraniku.
Semua riuh kala aku memilih jalan baru ataupun memilih kembali. Semua riuh kala
aku hanya berhenti tak bergerak. Mengapa keriuhan ini seolah mengendalikanku?
Bukankah aku yang bertanggungjawab terhadap hidupku dan langkahku? Aku terbentur
dengan harapan dan keinginan orang tuaku, aku terbentur dengan kekecewaan dan
kenyataan adik-adikku, aku terbentur dengan kondisi keluargaku, aku terbentur
dengan tuntutan materi terhadap hidupku dan keluargaku, aku terbentur dengan
tanggung jawabku kepada Tuhanku, aku terbentur dengan harapan-harapanku. Semua
seolah bertentangan, saling berbenturan, jauh dari mendukung dan menguatkan.
Aku seolah melihat kehancuran. Tuhan, rasanya aku ingin mati saja. Melihat
dunia yang semakin tidak aku mengerti. Melihat dunia merubah manusia di
sekitarku juga manusia yang jauh dari pandangku. Aku takut, jika aku termasuk
dari perubahan buruk dunia ini. Aku takut hidup lebih lama hanya akan membuatku
menjadi manusia yang semakin buruk dan menjauhi-Mu. Tapi aku pun belum siap
mati saat ini. Aku merasa sungguh hina dan jika aku berakhir sekarang, ini
hanya akan menjadi akhir hidup yang buruk. Tuhan, berikan aku kesempatan untuk
bisa berakhir dengan baik dan benar. Tuhan, beri aku kesempatan untuk bisa
melakukan dan menunaikan apa yang saat ini memang harus aku lakukan dan
tunaikan. Izinkan aku melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk orang tuaku dan
adik-adikku, untuk sahabat dan saudaraku, untuk bukti dan saksi atas imanku,
untuk pemberat timbangan amalku di Yaumul Mizan, untuk kelayakanku mendapat
syafa’at kelak, dan untuk segala apa yang harus aku pertangungjawabkan dunia
dan akhiratku. Tuhan, bukakanlah jalanku. Terangilah jalanku. Bebaskan aku dari
rasa terpasung ini. Tuntunlah aku dalam jalanku melaluinya. Karena aku tak tahu
mana lagi tempat bergantung dan berharap selain pada-Mu. Maafkan aku, karena
aku baru menemui-Mu disaat aku terpuruk dan hancur.
Bandung, 7 Februari 2017
Pukul 10:46 AM GMT+7 Jakarta
Syi'ra Syams
0 komentar:
Post a Comment