Sumber Gambar: Google (www.shushi168.com)
Allah telah memberikan potensi luar biasa pada manusia, kita mampu menyimpan memori-memori dalam otak kita seperti file dalam folder di komputer. Siapa yang meniru siapa? Tentu tidak ada yang dapat menandingi ciptaan-Nya. Bahkan memori di otak juga mampu merekam emosi dan menyimpannya.
Hai aku Syi’ra. Panggil saja begitu. Kau tahu ada kalanya saat kita
menangis tiba-tiba, tersenyum tiba-tiba, kesal tiba-tiba, marah tiba-tiba,
bersemangat tiba-tiba, dan segala emosi lainnya yang dapat begitu saja muncul
secara tiba-tiba. Kau tahu biasanya emosi seperti itu datang kala kita
teringat, mengingat, atau sengaja merenungkan kejadian-kejadian yang telah kita
lalui. Semua bagai serpihan-serpihan ingatan yang tersebar di arena pikiran
kita, melayang-layang dengan menyimpan emosinya masing-masing. Ketika sampai
pada suatu peristiwa dengan emosi luar biasa, saat itulah ekspresi tiba-tiba
itu muncul. Rasa sakit yang sebelumnya ada terasa kembali. Kekecewaan yang
sebelumnya ada terasa kembali. Begitupun kebahagiaan yang saat itu ada terasa
kembali. Sangat luar biasa potensi yang Allah berikan pada manusia hingga kita
dapat menyimpan memori dengan emosi kuat hingga waktu yang tak terduga.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menangis selama satu tahun ini. Ya,
satu tahun. Terasa waktu yang panjang bila dipikirkan. Namun, ketika dirasakan
dengan membawa kembali memori-memori yang telah terlalui, wow! Singkat bukan?
Seberapa banyak air mata yang telah berderai juga sudah tak kuingat lagi. Aku
menangis dalam diam. Aku menangis kala hujan, membiarkan air mata dan hujan
bersua di wajahku. Aku menangis kala rumahku telah senyap. Aku menangis di
kamarku dengan isak yang tertahan. Hingga mataku tak mampu berdusta dan semua
menjadi tahu. Namun aku membisu untuk jawaban mengapa.
Memori dengan kesedihan, kekecewaan, dan sakit yang mendalam menerobos
kendali folder kenangan di otakku. Terkadang mereka muncul karena sulut dari
orang lain. Namun terkadang mereka muncul karena aku membuka folder kenangan
itu dan melihat kembali memori-memoriku. Aku bukan orang yang mudah melupakan
sesuatu. Terutama sesuatu dengan emosi kuat. Tersiksa? Ya. Terkekang? Ya. Aku bak
wanita dalam box sepatunya, kerdil, dan hanya melihat sisi box kemanapun
mengarahkan pandangan. Sendiri, buntu, gelap, hingga memori-memori menyakitkan
itu menghancurkan diriku sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi.
Aku sendirian. Hal yang kusadari kala kondisi tersebut. Aku seolah
ditinggalkan keluarga terdekatku, keluarga besarku, saudara-saudaraku,
teman-temanku, bahkan orang yang hanya mengenalku tanpa tahu cerita hidupku.
Yah, apa arti keluarga, saudara, teman, dan hubungan kemanusiaan lainnya kalau
begitu? Pertanyaan yang muncul seketika aku tersadar, dan tidak ada siapapun di
sisiku. Disusul pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Apa aku melakukan tindak
kriminal terhadap mereka? Apa aku melakukan kejahatan pada mereka? Apa aku mengusik
kehidupan pribadi mereka? Apa aku membuat orang lain membenci mereka? Apa aku
melakukan sesuatu yang buruk lainnya pada mereka? Jawaban yang berhasil
kudapatkan dari hasil berpikir dan mengingat mendalam untuk semua pertanyaan
itu adalah aku bukan orang yang gemar mengumbar gosip atau kisah hidup orang
kepada orang lainnya. Aku tidak pernah melakukan tindakan kriminal atau
kejahatan apapun pada mereka. Aku tidak menyukai orang lain mengusik hal
privasiku, begitupun yang aku lakukan terhadap orang di sekitarku. Aku
menghargai setiap privasi mereka.
Aku menemukan salah satu hal dominan yang mungkin ini menjadi penyebabnya.
Mimpiku. Banyak dari mereka tidak percaya mimpiku. Banyak dari mereka mencibir
mimpiku. Banyak dari mereka yang memintaku menyerah pada mimpiku. Tidak ada
dukungan, tidak ada kebanggaan. Mereka bilang, “kuliah sudah susah-susah, kuliahnya berat, kuliah sekian lama hingga 4
tahun, lulus bukan dengan hasil yang biasa-biasa saja. Lulus cumlaude dan mendapat penghargaan Tugas
Akhir unggulan. Tapi tidak mau bekerja.” Banyak dari mereka memintaku untuk
menyerah dan mencari pekerjaan. Lalu, begitukah sebenarnya aku? Aku lebih
mengenal diriku sendiri. Aku terbiasa menyelesaikan masalah pribadiku sendiri.
Aku bukan tipe orang yang banyak menceritakan kisah pribadiku pada orang lain. Benar,
dunia ini silap. Nila setitik rusak susu sebelanga, peribahasa itu tepat
sekali. Lelah ketika kita harus menjelaskan secara runut secara satu per satu
pada orang lain tentang apa yang kita pikirkan, apa goal kita, apa strategi langkah kita, dan lain sebagainya agar
mereka dapat memahami kita. Hasilnya? Kebanyakan dari mereka tetap tidak paham
setelah penjelasan panjang itu. Mengapa berburuk sangka seperti itu? Ini bukan
buruk sangka. Aku bahkan telah mencobanya selama 1 tahun kepada lingkungan
terdekatku.
Tidak mau bekerja. Sesungguhnya sejak lama makna bekerja bagiku tidak
terbatas pada mencari lowongan pekerjaan pada suatu perusahaan, jika itu rezeki
kita maka akan diterima bekerja di tempat itu. Apa yang dilakukan? Mengerjakan
sesuai job description dan digaji
setiap bulannya. Tidak sesempit itu makna kerja untukku. Lalu apa? Makna bekerja untukku adalah melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, bahkan jika bisa hingga
lingkar terjauh kita dengan menghasilkan karya yang bernilai dan kita
mendapatkan keuntungan secara materil berupa uang juga secara batin berupa
kebahagiaan, ketenangan, dan rasa tidak tertekan atau sengsara yang banyak
muncul dari pekerjaan yang kita lakukan. Lalu jawabannya, apakah tidak
bekerja pada suatu perusahaan? Tidak juga, itu belum tentu. Setiap orang punya
arti kebahagiannya masing-masing. Jika kamu sudah bekerja dan tidak merasa ada
kebahagiaan dan bahkan tertekan, mungkin sebaiknya kamu tinggalkan hal yang
menjadi pekerjaanmu saat ini. Jika kamu
sudah bekerja dengan perasaan seperti itu 10 tahun, lalu mau berapa tahun lagi
kamu berada dalam kesengsaraan hidup seperti itu? Jika waktumu hingga besok,
mungkin kamu tidak akan menghabiskan sisa hidupmu bertahun-tahun yang akan
datang dengan kesengsaraan. Tapi jika tidak? Kamu yang tahu jawabannya. Ya,
tapi kita tidak pernah tahu sampai kapan waktu kita. Aku tidak ingin ketika
mata ini terpejam dan tubuh ini kehilangan ruhnya, aku dalam keadaan penuh
penyesalan dan kesengsaraan. Ini bukan sekedar dalam konteks materil.
Apakah yang aku lakukan saat ini memenuhi pengertian bekerja menurut
versiku? Memang belum seluruhnya. Bukankah semuanya butuh proses? Bahkan yang
bekerja di perusahaan besar pun butuh proses untuk mencapai posisi tinggi.
Ketika aku sampai pada konklusi proses berpikir dan menimbang, aku memutuskan
untuk melakukan hal sesuai dengan makna bekerja pada umumnya. Mengapa? Bukankah
itu menjilat ludah sendiri? Atau aku merasa gagal dan setuju dengan mereka yang
mengatakan aku ‘ngeyel’ selama ini? Jawabannya adalah bukan, tidak seperti itu.
Sebagai anak pertama dari 5 bersaudara, sebagai cucu tertua, dan segala pertimbangan
berat dan proses berpikir mendalam, aku butuh shortcut yang dapat membantuku setidaknya mengurangi sekian dari
permasalahan hidup yang kuhadapi secara bersamaan saat ini. Lagi-lagi ini bukan sekedar persoalan
materil. Aku tidak hidup untuk uang
dan uang tidak akan mampu membeli kehidupanku.
Dalam kesendirian itu, telah banyak derai air mata, telah banyak luka hati
yang tak kunjung sembuh karena tikaman yang terus menerus, telah banyak waktu
malam yang kulalui tanpa terlelap, tapi aku juga menemukan jawaban-jawaban dari
beberapa pertanyaanku terdahulu yang tidak aku mengerti. Pertanyaan dalam hal
apa? Banyak hal. Bahkan dari sekian banyak memori itu, aku juga menyadari suatu
hal bahwa aku telah meninggalkan Sesuatu dan aku telah melangkah terlau jauh
sehingga aku harus kembali.
Bandung, 25 Desember 2016
Pukul 1:16 AM GMT+7 Jakarta
-Syi’ra.AHM-
0 komentar:
Post a Comment