Wednesday, December 28, 2016

MINDSET

Setiap manusia telah Allah bekali potensi salah satunya akal. Wajar jika setiap manusia memiliki cara berpikirnya masing-masing. Karena itulah, pertentangan menjadi hal yang lumrah terjadi. Tapi manusia hidup dengan takdirnya yang tak bisa lepas dari manusia lainnya. Menjadi keharusan untuk mencari jembatan yang akan mempersatukan manusia satu dengan lainnya. Lalu jembatan seperti apa? Jembatan akidah dan akhlaq. Akhlaq ini meliputi empati, rendah hati, saling menghargai, berbaik sangka, kepercayaan, sikap positif, dan hubungan kemanusiaan lainnya. Jembatan ini pula lah yang akan menjadi sarana transportasi pemikiran manusia satu dengan manusia lainnya. Tentunya kedua sisi jembatan harus terbuka. Jika salah satunya tertutup, maka akan sama saja.

Hai! Aku Syi’ra. Aku mungkin sedikit berbeda dari orang kebanyakan. Cara berpikirku seringkali sulit dipahami atau diterima orang pada umumnya. Mengapa? Apa ada yang salah dengan syaraf di otakku? Apa ada kelainan tertentu yang terjadi padaku? Apa aku menderita gangguan mental? Jawaban untuk semua itu alhamdulillah, tidak. Aku terlahir dalam kondisi sehat jiwa, raga, mental dan sebagainya begitu pun hingga hari ini. Lalu apa maksudnya?

Jika aku dihadapkan pada suatu permasalahan, aku akan melihat dari sisi A, B, C tergantung dari permasalahan tersebut melibatkan berapa pihak. Aku akan membaca ruang-ruang pandang mana yang didiami pihak-pihak tersebut sehingga aku dapat mengetahui cara berpikir pihak A, B, C dan seterusnya. Selanjutnya untuk menentukan benar dan salah suatu permasalahan, harus ada standar benar dan salah yang baku, jelas, yang tidak bisa digugat oleh pihak-pihak tersebut. Setelah itu tentu yang harus dimenangkan adalah yang benar sekalipun itu terlihat menyakitkan atau terlihat tidak baik untuk saat itu. Jika permasalahan tersebut membutuhkan solusi, maka perlu ada goal yang jelas dari masalah tersebut dan baiknya berpengaruh dalam jangka panjang. Jika semua sudah menjadi nyata, bukankah solusinya bisa didapatkan?

Paragraf di atas terlihat memusingkan, aku akan berikan contohnya. Di waktu yang lalu, aku dihadapkan pada masalah seorang teman, sebut saja ‘Keripik’, dia lulus percobaan dan terancam drop out (DO). Mengapa keripik? Hanya tiba-tiba terlintas saja, mungkin aku lapar, tidak ada maksud dibaliknya. Sebagai teman yang solid, ketua angkatanku dan teman-temanku menemui dosen terkait untuk melakukan negosiasi dan meminta kesempatan perbaikan. Temanku, Keripik ini, sudah beberapa semester kurang baik. Kurang baik dari segi apa? Kehadiran di kelas, pengerjaan tugas dan pengumpulannya, semangat kuliahnya yang menurun, dan lainnya sehingga yang sebelumnya indeks prestasinya baik-baik saja, bagus, menjadi menurun. Temanku ini termasuk yang sangat tertutup tentang pribadinya. Saat masa ujian selesai, biasanya kami sebagai mahasiswa, tetap rutin ke kampus untuk memantau nilai kami masing-masing. Saat itu, temanku Keripik yang bukan orang asli kota dimana kami kuliah, langsung terbang kembali ke kampung halamannya begitu masa ujian selesai. Dosenku merasa tidak ada i’tikad baik dari temanku Keripik ini untuk menghadap dan sebagainya. Justru ketua angkatanku dan temanku yang lainlah yang menemui dosen tersebut dan Keripik tidak mau kembali ke kota kami kuliah, selanjutnya sebut saja ‘Kota Bakso’. Anggap saja kali ini kita ada di dunia makanan. Pemahamanku terhadap Keripik, alasannya karena jarak yang cukup jauh dan biaya yang lumayan.

Singkat cerita, hasil negosiasi ketua angkatanku dan teman-temanku yang lainnya, dapatlah Keripik keringanan. Ada satu mata kuliah dimana dosen terkait berkenan untuk Keripik melakukan ujian ulang atau perbaikan dengan syarat Keripik mau ke Kota Bakso. Ringkasnya, dilakukan negosiasi lagi hingga ujian bisa dilakukan online. Teman-temanku berstrategi untuk membantu Keripik saat ujian. Jadi, Keripik akan terhubung 2 jalur. Pertama ujian online, di waktu bersamaan, di jalur lain ada teman-teman yang siap bantu Keripik untuk mengerjakan soal ujian yang Keripik rasa tidak bisa. Waktu yang ditentukan untuk ujian masih ada sekitar seminggu lagi. Aku yang tidak setuju dengan kesepakatan ini bersuara yang intinya menyatakan aku tidak setuju, jika kita peduli dengan Keripik, yang harus kita bantu adalah menguatkan mental Keripik (perlu diketahui, jurusan kami merupakan jurusan yang cukup sulit, saya tidak akan sebutkan), bantu bukan saat ujian tapi selama waktu seminggu yang ada ini, kita bantu Keripik untuk mempersiapkan ujian. Materi mana yang belum dipahami, kita bantu belajarnya hingga ke cara menyelesaikan soal-soalnya. Karena dunia yang sebenarnya harus dihadapi adalah ketika sudah lulus nanti. Dunia kerja, dimana teman-teman yang sepeduli saat ini belum tentu ada. Kita harus bisa bertanggung jawab sendiri terhadap gelar yang nanti kita sandang. Kita harus punya mental yang kuat untuk menghadapi tantangan yang jauh lebih besar di depan. Lebih jauhnya lagi, bagaimanapun, itu tindakan curang dan tidak benar. Selalu ada ganjaran atas apa yang kita lakukan, baik ataupun buruk, benar ataupun salah. Kelak, di peradilan kita, yaitu setelah tak lagi di dunia ini, kecurangan ini akan berkontribusi terhadap timbangan amalan kita. Jika kita bisa tidak melakukan dosa, kenapa kita melakukannya? Tidak ada manusia yang sanggup menahan kejamnya siksa kubur dan panasnya api neraka.

Saat itu, belum selesai penjelasanku, teman-teman sudah bubar jalan pergi meninggalkanku. Hari berikutnya tidak ada dari mereka yang mau kuajak bicara, aku diabaikan. Awalnya aku tidak mengerti mengapa aku seolah dianggap tidak ada hingga aku tahu alasannya. Mereka berpikir bahwa aku tidak peduli dengan teman. Bukan, mereka salah memahami maksudku. Apa dari uraian pemikiranku di atas, ada rasa tidak peduliku pada Keripik dan teman-temanku yang lainnya? Dalam kasus ini, goal-nya jelas membantu Keripik. Solusinya? Sudah aku uraikan di atas sesuai dengan cara berpikirku yang menurutku terbaik untuk jangka pendek dan jangka panjang.
Kurang lebih begitulah salah satu contoh uraian tentang cara berpikirku yang seringkali tampak kejam dan tidak peduli, tapi sungguh aku tidak berniat seperti itu dan justru yang kupikirkan adalah terbaik untuk semua. Bagaimana menurut kalian?

Bandung, 25 Desember 2016
Pukul 2:52 AM GMT+7 Jakarta

-Syi’ra.AHM-

0 komentar:

Post a Comment