Saturday, January 7, 2017

‘GENERASI MALU’

Jadilah ‘Generasi Muda yang Punya Malu’ bukan ‘Generasi Muda yang Memalukan’

Secara tiba-tiba terlintas sebersit pikiran kala aku meminta bantuan salah seorang adikku. Hanya menyebar info saja, kebetulan seorang teman memintaku membantunya menyebarkan poster promosi online untuk usaha yang baru dibangunnya. Saat itu aku mengiyakan, namun aku tersadar ketika akan mem-forward-nya. “Ah, ya. Aku telah menghilang dari hiruk pikuk media sosial beberapa waktu ini. Aneh rasanya tiba-tiba muncul lalu promosi. Siapa pula yang akan melirik.” Pikirku kala itu. Aku ingat, adik bungsuku memiliki followers instagram, media sosial yang masih gandrung saat ini, yang lumayan jauh lebih banyak dibanding aku. Langsung saja aku memintanya untuk membantuku, cukup posting satu kali saja di instagramnya. Tebak respon dia! Sebenarnya aku sudah tau dia akan menolaknya. Alasannya? Mudah saja. Malu. Satu kata itu membuat khayalku jauh terbang. Malunya dia karena merasa, “Ganteng-ganteng begini, disuruh berjualan.” Hmm ternyata bukan sekali ini, perkara kondisi generasi muda saat ini mengisi ruang pikiranku. Ya, ‘Generasi Malu’. Bukan, bukan sekedar karena adikku yang menolak permintaanku yang ini. Jika soal aku memintanya membantuku menawarkan atau ikut menjualkan produk usahaku, itu sudah selalu ditolaknya. Saat ini aku belum menjadi pengusaha, tapi hopefully di kemudian hari aku bisa benar-benar menjadi seorang pengusaha. Aamiin.

Kembali lagi pada ‘Generasi Malu’, aku melihat adikku sebagai salah satu contoh anak muda generasi masa kini. Flashback ke masaku, aku baru menyentuh komputer semasa SMP. Aku baru punya handphone ketika menginjak SMA. Aku baru punya e-mail pun semasa SMA. Media sosial pertama yang aku punya adalah Facebook. Itu pun dibuatkan temanku. Sejak SMP, saat teman-teman sekolahku sudah mulai bermain Friendster dan YM, aku sudah dikenal orang yang tidak tertarik dengan dunia media sosial. “Untuk apa mencari teman semu dan mempublikasikan aktivitasmu sehari-sehari?” Kurang lebih seperti itu yang kupikirkan saat SMP dulu. Seiring aku bertambah dewasa, teknologi pun semakin modern. Tentunya, perkembangan anak-anak pun jadi mengikuti zaman. Peralihan permainan yang awalnya dilakukan bersama teman-teman dengan olah fisik dan lain sebagainya berganti menjadi permainan jempol dan beberapa jari saja yang dimainkan dan hanya dari sebuah layar handphone, tab, PC, laptop dan beragam jenis perangkat keras canggih lainnya. Ya, memang masih bermain bersama teman. Tapi hanya teman yang bertemu di arena bermain game mereka. Umur pertemanan yang singkat. Tidak ada keakraban yang terjalin seperti anak-anak zamanku dan sebelumku. Karena kurangnya olah fisik, juga menimbulkan banyak penyakit di usia dini. Ini hanya sekilas efek negatif dari semakin berkembangnya teknologi. Tentu ada efek positifnya yang juga banyak dirasakan. Tapi bukan berarti efek negatif ini di kesampingkan. Karena nyatanya efek negatif ini berdampak sangat signifikan. Bukan begitu? Lihatlah di sekitar kita. Bukan hanya dengan mata tapi dengan kerendahan hati dan keluasan pikiran. Maka kamu akan melihatnya.

Lalu apa yang dimaksud dengan ‘Generasi Malu’? Mari kita cermati. Apa saja aktivitas generasi muda saat ini kala berselancar di dunia maya? Kita sempitkan saja media sosial. Dapat dikatakan ada sekitar 80% dari aktivitas generasi muda di media sosial di antaranya mencakup posting mengenai keseharian kegiatannya, menulis tentang kondisi hatinya: entah itu mendapatkan pacar baru, putus, balikan dengan mantan, ketemu mantan, ditinggal nikah mantan, senang mendapat hadiah, senang mendapat kejutan, haru biru suasana hati, dan hal sejenis lainnya, makanan dan minuman hari ini, pakaian yang dikenakannya hari ini, pergi kemana saja dia hari ini, dan hal lain yang terjadi di kehidupannya bahkan hal-hal yang bisa disebut intim. Aku berpikir, “Apa mereka merasa baik-baik saja ketika batas imajiner privasinya sudah hilang? Apa mereka tidak khawatir, jika ada orang yang berniat jahat di luar sana memantau aktivitas media sosial mereka sehingga akan dengan mudahnya melancarkan aksi kejahatannya karena tahu lokasi keberadaan dan kondisi kita? Apa mereka merasa penting untuk mengetahui dan diketahui keberadaannya di media sosial? Apa mereka tidak merasa malu dengan mengunggah setiap hal yang terjadi di hidupnya? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang muncul dibenakku.”

Hal yang dulu tabu sekarang menjadi biasa saja. Hal yang dulu biasa saja atau bahkan bagus bisa menjadi tabu dan lebih buruknya lagi bisa menjadi bahan gunjingan, cibiran, serta hal buruk lainnya. Mengapa sekarang banyak hal yang terbolak-balik? Ketika mengunggah foto selfie-nya yang selayar handphone bahkan kalau kamu akses di PC menjadi sebesar monitor, tidak malu. Diminta berjualan online, malu. Padahal mungkin saja memperlihatkan bagian yang tidak kamu inginkan, misalnya saja kotoran lubang hidungmu atau matamu. Bisa juga jerawatmu atau hal kurang nyaman dipandang lainnya. Walaupun saat ini kekurangan-kekurangan diri bisa dimanipulasi dengan aplikasi. Tapi bukankah itu pembohongan? Bukan teman media sosialmu saja yang terbohongi, lebih utamanya adalah kamu membohongi dirimu sendiri. Kepercayaan diri menurun, selalu merasa kurang atau mungkin sebaliknya, merasa diri lebih. Ini akan menjadi dampak berkepanjangan, tidak hanya berhenti sampai sekedar mengunggah foto diri dan aktivitas keseharian di media sosial. Aku tidak menjadikan adikku standar generasi muda saat ini. Memang saat ini banyak generasi muda yang sudah menangkap dan memanfaatkan sisi positif dari semakin berkembangnya dan digandrunginya media sosial, di antaranya menjadikan media sosial sebagai media bisnis online. Tentu, bagi mereka yang memanfaatkannya, menjadi mandiri finansial lebih dini. Tapi masih perlu dilihat kembali bisnis online seperti apa yang dilakukannya? Hal ini akan dilanjutkan secara terpisah di tulisan lainnya.

Ya, mengapa saat ini generasi muda kita menjadi aneh? Diajak sholat malas, tapi diajak dugem semangat. Menyempatkan waktu 10 menit untuk sholat terasa berat, tapi mengejar diskon yang bahkan midnight rela-rela saja. Diajak ta’lim dianggap ngga gaul, ragu, berat hati, sok alim, tapi diajak miras senang saja. Posting lagi di masjid, ditambahkan caption atau di komentari sedang taubat yang sembari diiringi candaan. Posting lagi hang out merasa keren dan yang komentar pun antusias bertanya dimana lokasinya. Mau makan, update dulu. Mau olah raga, update dulu. Mau sekolah, kuliah, atau kerja update dulu. Lagi mendengarkan lagu apa, update dulu. Aku hanya berpikir, “Apa semua orang harus diberi tahu apa yang sedang dan mau aku, kamu, kita dan kalian lakukan?”.

Hal aneh lainnya, mengunggah foto bermesraan dengan pacar, yang jelas-jelas belum memiliki hak sama sekali untuk menyentuhmu, bahkan melihat dan membayangkan wajahnya dibenak pun, kamu, kalian tidak punya hak untuk itu, merasa biasa saja, tidak ada rasa malu. Bagaimana respon dari banyak generasi muda lainnya? Banyak dari mereka ingin menirunya dan mengatakan ‘relationship goals’. Menurutku ini bukan lagi hal aneh, melainkan hal yang benar-benar gila. Padahal aku, kamu, kita dan kalian diperintahkan untuk menjaga kemaluan, ini bukan sekedar konotasi dari sesuatu tetapi seluruh hal yang mencakup malu. Yang perempuan diajak berjilbab dijawabnya belum dapat hidayah atau belum siap. Yang sudah berjilbab, ingin tetap trendi, tidak kalah dengan yang tidak berjilbab. Ditatalah kerudung itu menjadi menyerupai rambut yang tergerai, sanggulan, cepolan, dililit di leher yang membuatku khawatir jika terlalu kencang bisa tercekik, dan aneka gaya lainnya. Banyak pula yang tetap ingin tubuhnya terlihat ramping sehingga model bajunya membentuk lekuk tubuhnya. Tertutup sih memang tertutup. Tapi apa perbedaannya dengan tidak menggunakan pakaian kalau pakaian yang dikenakan melekat dan membentuk lekuk tubuh apalagi menerawang.

Tidak tahu atau lupa esensi dari berjilbab itu apa? Kini seolah jilbab hanya menjadi fashion trends belaka. Dahulu banyak yang sangat berat memutuskan untuk berjilbab. Salah satu alasannya terlihat tua dan tidak fashionable. Tapi sekarang banyak anak muda yang sudah memutuskan berjilbab, tidak dipungkiri di antaranya ada alasan yang katanya terlihat lebih cantik dan sekarang jilbab sudah tidak terkesan kuno lagi. Zaman ibu, nenek, uyut dan uyut dari uyut-uyutnya kita, berjuang untuk bisa menggunakan jilbab. Jilbab menjadi identitas diri seorang muslimah yang kukuh terhadap ke-Islam-annya. Tapi sekarang, tidak ada kesulitan bagi seorang perempuan yang mengaku dirinya muslim, untuk berjilbab. Tapi tentu perlu disyukuri, alhamdulillah sekarang sudah banyak yang mulai mau menutupi auratnya dan mau belajar patuh terhadap Allah. Semoga aku, kamu, kita dan kalian senantiasa memperbaiki diri, istiqomah dan Allah izinkan untuk berada di jalan yang Allah ridhoi. Aamiin. Perbincangan tentang jilbab akan kita lanjutkan pada tulisan lain.

Ya, hal-hal yang dijadikan alasan tadi, itu semua hanya excuses yang dibuat diri sadar ataupun tidak sadar. Karena hidayah dan kesiapan adalah hal yang harus dipicu secara sadar oleh setiap individu itu sendiri. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini telah Allah bekali berbagai potensi diri, salah satunya akal, yang menjadi salah satu keistimewaan manusia dari makhluk Allah lainnya.  Akal ini bukan sekedar mengartikan kewarasan seseorang. Jadi, kalau aku, kamu, kita dan kalian sudah Allah berikan akal, ya DIGUNAKAN sehingga hidayah itu Allah izinkan untuk aku, kamu, kita dan kalian. Masih belum menemukan alasan yang kuat? Sadar! Allah sudah membekali manusia dengan paket super lengkap mengalahkan paket komplitnya nasi timbel. Allah sudah beri potensi, Allah beri Al-Quran, ditambah lagi Rasulullah dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersebar disetiap aku, kamu, kita dan kalian melangkah 1 mm saja. Kalau belum menemukan alasan, sangat mudah ditebak. Berarti kamu, kalian tidak membaca Al-Quran apalagi menjadikannya pedoman hidup. Muslim bukan kamu, kalian? Silahkan jawab masing-masing. Ini baru perkara jilbab. Belum perkara lain yang masih banyak lagi.

Aku merasa generasi muda saat ini semakin pintar secara keilmuan, tapi tidak beriringan dengan keimanan yang semakin kuat pula. Malu sangat erat kaitannya dengan iman. Orang yang beriman harusnya punya malu. Mungkin salah satu resolusi yang menjadi penting di Tahun 2017 ini bagi generasi muda adalah menyambungkan urat-urat malu yang sudah merenggang atau bahkan terputus itu. Caranya? Sudah jelas bukan? PERKUAT IMAN! Orang yang beriman ketika punya masalah, bukan mengunggah masalahnya di media sosial, melainkan menyerahkan segalanya kepada Allah, memohon kekuatan untuk menghadapi dan meminta ditunjuki solusi yang terbaik. Buka, baca dan hayati juga Al-Quran-nya. Jangan hanya diselip di rak bukumu apalagi sampai di simpan di bawah tempat tidurmu. Semua masalah di hidupmu datang atas seizin Allah untuk menguji imanmu, maka kembalikan semua pada Allah karena yang bisa mengambil masalah tersebut darimu, ya pasti yang memberinya. Kalau laptopmu rusak, kamu bawa ke tukang sol sepatu, itu namanya tersesat. Sama dengan kondisimu, kalau kamu punya masalah hidup, kamu curhatnya di halaman media sosialmu, itu juga namanya tersesat. Bukan hanya itu, kamu juga mengumbar aibmu sendiri. Kalau aib, ya pasti harus malu. Kalau kamu orang beriman, maka kamu akan tahu kapan dan untuk hal seperti apa kamu harus merasa malu. Jadilah ‘Generasi Muda yang Punya Malu’ bukan ‘Generasi Muda yang Memalukan’.


Dicukupkan dulu tulisan kali ini. Jika di kemudian hari ada pengembangan tulisan, akan diedit pada tulisan ini langsung.


Bandung, 7 Januari 2017
Pukul 2:53 AM GMT+7 Jakarta
-Syi’ra.AHM-

0 komentar:

Post a Comment