Jadilah ‘Generasi Muda yang Punya Malu’ bukan ‘Generasi Muda yang Memalukan’
Secara tiba-tiba terlintas sebersit pikiran kala aku meminta bantuan salah
seorang adikku. Hanya menyebar info saja, kebetulan seorang teman memintaku
membantunya menyebarkan poster promosi online
untuk usaha yang baru dibangunnya. Saat itu aku mengiyakan, namun aku tersadar
ketika akan mem-forward-nya. “Ah, ya.
Aku telah menghilang dari hiruk pikuk media sosial beberapa waktu ini. Aneh
rasanya tiba-tiba muncul lalu promosi. Siapa pula yang akan melirik.” Pikirku
kala itu. Aku ingat, adik bungsuku memiliki followers
instagram, media sosial yang masih gandrung saat ini, yang lumayan jauh lebih
banyak dibanding aku. Langsung saja aku memintanya untuk membantuku, cukup posting satu kali saja di instagramnya.
Tebak respon dia! Sebenarnya aku sudah tau dia akan menolaknya. Alasannya?
Mudah saja. Malu. Satu kata itu membuat khayalku jauh terbang. Malunya dia
karena merasa, “Ganteng-ganteng begini, disuruh berjualan.” Hmm ternyata bukan
sekali ini, perkara kondisi generasi muda saat ini mengisi ruang pikiranku. Ya,
‘Generasi Malu’. Bukan, bukan sekedar karena adikku yang menolak permintaanku yang
ini. Jika soal aku memintanya membantuku menawarkan atau ikut menjualkan produk
usahaku, itu sudah selalu ditolaknya. Saat ini aku belum menjadi pengusaha,
tapi hopefully di kemudian hari aku
bisa benar-benar menjadi seorang pengusaha. Aamiin.
Kembali lagi pada ‘Generasi Malu’, aku melihat adikku sebagai salah satu contoh
anak muda generasi masa kini. Flashback
ke masaku, aku baru menyentuh komputer semasa SMP. Aku baru punya handphone ketika menginjak SMA. Aku baru
punya e-mail pun semasa SMA. Media sosial
pertama yang aku punya adalah Facebook. Itu pun dibuatkan temanku. Sejak SMP,
saat teman-teman sekolahku sudah mulai bermain Friendster dan YM, aku sudah
dikenal orang yang tidak tertarik dengan dunia media sosial. “Untuk apa mencari
teman semu dan mempublikasikan aktivitasmu sehari-sehari?” Kurang lebih seperti
itu yang kupikirkan saat SMP dulu. Seiring aku bertambah dewasa, teknologi pun
semakin modern. Tentunya, perkembangan anak-anak pun jadi mengikuti zaman. Peralihan
permainan yang awalnya dilakukan bersama teman-teman dengan olah fisik dan lain
sebagainya berganti menjadi permainan jempol dan beberapa jari saja yang
dimainkan dan hanya dari sebuah layar handphone,
tab, PC, laptop dan beragam
jenis perangkat keras canggih lainnya. Ya, memang masih bermain bersama teman.
Tapi hanya teman yang bertemu di arena bermain game mereka. Umur pertemanan yang singkat. Tidak ada keakraban yang
terjalin seperti anak-anak zamanku dan sebelumku. Karena kurangnya olah fisik,
juga menimbulkan banyak penyakit di usia dini. Ini hanya sekilas efek negatif
dari semakin berkembangnya teknologi. Tentu ada efek positifnya yang juga
banyak dirasakan. Tapi bukan berarti efek negatif ini di kesampingkan. Karena
nyatanya efek negatif ini berdampak sangat signifikan. Bukan begitu? Lihatlah
di sekitar kita. Bukan hanya dengan mata tapi dengan kerendahan hati dan
keluasan pikiran. Maka kamu akan melihatnya.
Lalu apa yang dimaksud dengan ‘Generasi Malu’? Mari kita cermati. Apa saja
aktivitas generasi muda saat ini kala berselancar di dunia maya? Kita sempitkan
saja media sosial. Dapat dikatakan ada sekitar 80% dari aktivitas generasi muda
di media sosial di antaranya mencakup posting
mengenai keseharian kegiatannya, menulis tentang kondisi hatinya: entah itu
mendapatkan pacar baru, putus, balikan dengan mantan, ketemu mantan, ditinggal
nikah mantan, senang mendapat hadiah, senang mendapat kejutan, haru biru
suasana hati, dan hal sejenis lainnya, makanan dan minuman hari ini, pakaian
yang dikenakannya hari ini, pergi kemana saja dia hari ini, dan hal lain yang
terjadi di kehidupannya bahkan hal-hal yang bisa disebut intim. Aku berpikir, “Apa
mereka merasa baik-baik saja ketika batas imajiner privasinya sudah hilang? Apa
mereka tidak khawatir, jika ada orang yang berniat jahat di luar sana memantau
aktivitas media sosial mereka sehingga akan dengan mudahnya melancarkan aksi
kejahatannya karena tahu lokasi keberadaan dan kondisi kita? Apa mereka merasa penting
untuk mengetahui dan diketahui keberadaannya di media sosial? Apa mereka tidak
merasa malu dengan mengunggah setiap hal yang terjadi di hidupnya? Dan masih
banyak pertanyaan lainnya yang muncul dibenakku.”
Hal yang dulu tabu sekarang menjadi biasa saja. Hal yang dulu biasa saja
atau bahkan bagus bisa menjadi tabu dan lebih buruknya lagi bisa menjadi bahan
gunjingan, cibiran, serta hal buruk lainnya. Mengapa sekarang banyak hal yang
terbolak-balik? Ketika mengunggah foto selfie-nya
yang selayar handphone bahkan kalau
kamu akses di PC menjadi sebesar monitor, tidak malu. Diminta berjualan online, malu. Padahal mungkin saja
memperlihatkan bagian yang tidak kamu inginkan, misalnya saja kotoran lubang
hidungmu atau matamu. Bisa juga jerawatmu atau hal kurang nyaman dipandang
lainnya. Walaupun saat ini kekurangan-kekurangan diri bisa dimanipulasi dengan
aplikasi. Tapi bukankah itu pembohongan? Bukan teman media sosialmu saja yang
terbohongi, lebih utamanya adalah kamu membohongi dirimu sendiri. Kepercayaan
diri menurun, selalu merasa kurang atau mungkin sebaliknya, merasa diri lebih.
Ini akan menjadi dampak berkepanjangan, tidak hanya berhenti sampai sekedar
mengunggah foto diri dan aktivitas keseharian di media sosial. Aku tidak
menjadikan adikku standar generasi muda saat ini. Memang saat ini banyak
generasi muda yang sudah menangkap dan memanfaatkan sisi positif dari semakin
berkembangnya dan digandrunginya media sosial, di antaranya menjadikan media
sosial sebagai media bisnis online.
Tentu, bagi mereka yang memanfaatkannya, menjadi mandiri finansial lebih dini.
Tapi masih perlu dilihat kembali bisnis online
seperti apa yang dilakukannya? Hal ini akan dilanjutkan secara terpisah di
tulisan lainnya.
Ya, mengapa saat ini generasi muda kita menjadi aneh? Diajak sholat malas,
tapi diajak dugem semangat. Menyempatkan waktu 10 menit untuk sholat terasa
berat, tapi mengejar diskon yang bahkan midnight rela-rela saja. Diajak ta’lim
dianggap ngga gaul, ragu, berat hati, sok
alim, tapi diajak miras senang saja. Posting
lagi di masjid, ditambahkan caption
atau di komentari sedang taubat yang sembari diiringi candaan. Posting lagi hang out merasa keren dan yang komentar pun antusias bertanya
dimana lokasinya. Mau makan, update
dulu. Mau olah raga, update dulu. Mau
sekolah, kuliah, atau kerja update
dulu. Lagi mendengarkan lagu apa, update
dulu. Aku hanya berpikir, “Apa semua orang harus diberi tahu apa yang sedang
dan mau aku, kamu, kita dan kalian lakukan?”.
Hal aneh lainnya, mengunggah foto bermesraan dengan pacar, yang jelas-jelas
belum memiliki hak sama sekali untuk menyentuhmu, bahkan melihat dan
membayangkan wajahnya dibenak pun, kamu, kalian tidak punya hak untuk itu,
merasa biasa saja, tidak ada rasa malu. Bagaimana respon dari banyak generasi
muda lainnya? Banyak dari mereka ingin menirunya dan mengatakan ‘relationship goals’. Menurutku ini bukan
lagi hal aneh, melainkan hal yang benar-benar gila. Padahal aku, kamu, kita dan
kalian diperintahkan untuk menjaga kemaluan, ini bukan sekedar konotasi dari
sesuatu tetapi seluruh hal yang mencakup malu. Yang perempuan diajak berjilbab
dijawabnya belum dapat hidayah atau belum siap. Yang sudah berjilbab, ingin
tetap trendi, tidak kalah dengan yang tidak berjilbab. Ditatalah kerudung itu menjadi
menyerupai rambut yang tergerai, sanggulan, cepolan, dililit di leher yang
membuatku khawatir jika terlalu kencang bisa tercekik, dan aneka gaya lainnya. Banyak
pula yang tetap ingin tubuhnya terlihat ramping sehingga model bajunya membentuk
lekuk tubuhnya. Tertutup sih memang tertutup. Tapi apa perbedaannya dengan
tidak menggunakan pakaian kalau pakaian yang dikenakan melekat dan membentuk
lekuk tubuh apalagi menerawang.
Tidak tahu atau lupa esensi dari berjilbab itu apa? Kini seolah jilbab
hanya menjadi fashion trends belaka. Dahulu banyak yang sangat
berat memutuskan untuk berjilbab. Salah satu alasannya terlihat tua dan tidak fashionable. Tapi sekarang banyak anak
muda yang sudah memutuskan berjilbab, tidak dipungkiri di antaranya ada alasan yang
katanya terlihat lebih cantik dan sekarang jilbab sudah tidak terkesan kuno
lagi. Zaman ibu, nenek, uyut dan uyut dari uyut-uyutnya kita, berjuang untuk
bisa menggunakan jilbab. Jilbab menjadi identitas diri seorang muslimah yang
kukuh terhadap ke-Islam-annya. Tapi sekarang, tidak ada kesulitan bagi seorang
perempuan yang mengaku dirinya muslim, untuk berjilbab. Tapi tentu perlu
disyukuri, alhamdulillah sekarang
sudah banyak yang mulai mau menutupi auratnya dan mau belajar patuh terhadap
Allah. Semoga aku, kamu, kita dan kalian senantiasa memperbaiki diri, istiqomah
dan Allah izinkan untuk berada di jalan yang Allah ridhoi. Aamiin. Perbincangan
tentang jilbab akan kita lanjutkan pada tulisan lain.
Ya, hal-hal yang dijadikan alasan tadi, itu semua hanya excuses yang dibuat diri sadar ataupun
tidak sadar. Karena hidayah dan kesiapan adalah hal yang harus dipicu secara
sadar oleh setiap individu itu sendiri. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini telah
Allah bekali berbagai potensi diri, salah satunya akal, yang menjadi salah satu
keistimewaan manusia dari makhluk Allah lainnya. Akal ini bukan sekedar mengartikan kewarasan
seseorang. Jadi, kalau aku, kamu, kita dan kalian sudah Allah berikan akal, ya DIGUNAKAN
sehingga hidayah itu Allah izinkan untuk aku, kamu, kita dan kalian. Masih
belum menemukan alasan yang kuat? Sadar! Allah sudah membekali manusia dengan
paket super lengkap mengalahkan paket komplitnya nasi timbel. Allah sudah beri potensi,
Allah beri Al-Quran, ditambah lagi Rasulullah dan tanda-tanda kekuasaan Allah
yang tersebar disetiap aku, kamu, kita dan kalian melangkah 1 mm saja. Kalau
belum menemukan alasan, sangat mudah ditebak. Berarti kamu, kalian tidak
membaca Al-Quran apalagi menjadikannya pedoman hidup. Muslim bukan kamu, kalian?
Silahkan jawab masing-masing. Ini baru perkara jilbab. Belum perkara lain yang
masih banyak lagi.
Aku merasa generasi muda saat ini semakin pintar secara keilmuan, tapi
tidak beriringan dengan keimanan yang semakin kuat pula. Malu sangat erat
kaitannya dengan iman. Orang yang beriman harusnya punya malu. Mungkin salah
satu resolusi yang menjadi penting di Tahun 2017 ini bagi generasi muda adalah
menyambungkan urat-urat malu yang sudah merenggang atau bahkan terputus itu.
Caranya? Sudah jelas bukan? PERKUAT IMAN! Orang yang beriman ketika punya
masalah, bukan mengunggah masalahnya di media sosial, melainkan menyerahkan
segalanya kepada Allah, memohon kekuatan untuk menghadapi dan meminta ditunjuki
solusi yang terbaik. Buka, baca dan hayati juga Al-Quran-nya. Jangan hanya
diselip di rak bukumu apalagi sampai di simpan di bawah tempat tidurmu. Semua
masalah di hidupmu datang atas seizin Allah untuk menguji imanmu, maka
kembalikan semua pada Allah karena yang bisa mengambil masalah tersebut darimu,
ya pasti yang memberinya. Kalau laptopmu rusak, kamu bawa ke tukang sol sepatu,
itu namanya tersesat. Sama dengan kondisimu, kalau kamu punya masalah hidup,
kamu curhatnya di halaman media sosialmu, itu juga namanya tersesat. Bukan
hanya itu, kamu juga mengumbar aibmu sendiri. Kalau aib, ya pasti harus malu. Kalau
kamu orang beriman, maka kamu akan tahu kapan dan untuk hal seperti apa kamu
harus merasa malu. Jadilah ‘Generasi Muda yang Punya Malu’ bukan ‘Generasi Muda
yang Memalukan’.
Dicukupkan dulu tulisan kali ini. Jika di kemudian hari ada pengembangan
tulisan, akan diedit pada tulisan ini langsung.
Bandung, 7 Januari 2017
Pukul 2:53 AM GMT+7 Jakarta
-Syi’ra.AHM-
0 komentar:
Post a Comment